Cerita Diri | Non Fiksi
Dua bulan sudah aku menulis di weblog pribadiku ini. Pada awalnya, aku berencana untuk hanya menerbitkan cerita khayal buatanku saja. Namun, pada perkembangannya aku malah lebih banyak curhat daripada menulis cerita fiksi. Itulah awalnya mengapa aku menulis cerita dengan kategori cerita diri.
Beberapa sahabat yang sudah berlangganan weblog ini sejak awal, pasti menyadari bahwa ada yang berbeda dari cerita buatanku kali ini. Ya, sejak satu posting sebelumnya, aku membubuhkan nomor pada judul ceritaku. Hal ini kulakukan agar aku dapat menghitung indeks prestasiku. Sehingga aku dapat mengetahui sudah berapa banyak cerita yang berhasil kuselesaikan.
Senin, 29 Oktober 2012
Minggu, 28 Oktober 2012
[#1] 00:00
Cerita Diri | Non Fiksi
Sahabat, berapakah waktu yang tersisa bagi dirimu? Adakah seorang darimu yang tahu angka di atas urat nyawamu? Adakah yang tahu berapa waktu yang tersisa bagi diriku? Seandainya di antara sahabat ada yang mengetahuinya, tentu dia bukanlah manusia seperti diriku. Kuyakin dia adalah malaikat maut yang bersiap menunggu angka-angka tersebut membentuk 00:00.
Hidup hanyalah urusan jatah waktu. Bagaikan bom yang dihitung mundur, hidup akan berakhir dengan kematian. Namun, sayangnya tidak banyak orang yang menyadarinya. Termasuk diriku. Terkadang aku ingat, tapi seringkali aku lalai dan lupa bahwa hidupku ini ada akhirnya. Seringkali aku lupa bahwa di setiap millisecond hidupku, aku terus melahap semangkok usia yang telah disediakan.
Sahabat, berapakah waktu yang tersisa bagi dirimu? Adakah seorang darimu yang tahu angka di atas urat nyawamu? Adakah yang tahu berapa waktu yang tersisa bagi diriku? Seandainya di antara sahabat ada yang mengetahuinya, tentu dia bukanlah manusia seperti diriku. Kuyakin dia adalah malaikat maut yang bersiap menunggu angka-angka tersebut membentuk 00:00.
Hidup hanyalah urusan jatah waktu. Bagaikan bom yang dihitung mundur, hidup akan berakhir dengan kematian. Namun, sayangnya tidak banyak orang yang menyadarinya. Termasuk diriku. Terkadang aku ingat, tapi seringkali aku lalai dan lupa bahwa hidupku ini ada akhirnya. Seringkali aku lupa bahwa di setiap millisecond hidupku, aku terus melahap semangkok usia yang telah disediakan.
Langganan:
Postingan (Atom)